Jama’atul Muslimin
Pada dasarnya seluruh kaum muslimin hanya diikat oleh satu
jama’ah yaitu jama’atul muslimin dengan satu kepemimpinan yaitu
khalifah.
Jamaatul muslimin ini merupakan ikatan yang kuat didalam menjalankan
hukum Allah dan syari’at-Nya ditengah-tengah kehidupan umat manusia
sehingga menjadikan islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dan ketika
ikatan jama’atul muslimin ini hancur maka hancurlah seluruh
ikatan-ikatan islamnya, hilanglah syia’ar-syi’arnya dan umat menjadi
terpecah-pecah. Inilah makna ungkapan Umar bin Khottob,”Wahai
masyarakat Arab, tidak ada islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada
jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali
dengan ketaatan.” (HR. Bukhori)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan
islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan
diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali
lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Dan ketika jamaatul muslimin atau jama’ah yang mengikat seluruh kaum
muslimin di alam ini dengan satu kepemimpinan khilafah telah terwujud
maka umat islam diharuskan untuk membaiatnya serta dilarang untuk
melepaskan baiatnya dari keterikatannya dengan jama’atul muslimin,
sebagaimana didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Hudzaifah bin al Yaman berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau printahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Hudzaifah bin al Yaman berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau printahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Dari Abdullah bin ‘Amr ra bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang
membaiat seorang imam kemudian imam itu memberikan untuknya buah hatinya
dan mengulurkan tangannya maka hendaklah ia menaatinya sedapat
mungkin.” (HR. Muslim)
Demikianlah beberapa hadits diatas yang menunjukkan betapa tingginya
kedudukan seorang imam jama’atul muslimin didalam diri setiap rakyatnya.
Di situ juga disebutkan betapa setiap muslim harus senantiasa
mengedepankan kesabaran, tidak membangkang, tetap menaatinya dengan
segenap kemampuannya.
Hadits-hadits itu melarang setiap muslim untuk meninggalkan ketaatan
kepadanya atau keluar darinya dan membentuk jama’ah sendiri atau tidak
berjama’ah.
Adakah Jama’atul Muslimin Saat Ini
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah jama’atul muslimin ada pada saat ini?
Bisakah jama’ah-jama’ah pergerakan, partai-partai islam, ormas-ormas islam yang ada saat ini disebut dengan jama’atul muslimin?
Husein bin Muhammad bin Ali Jabir mengatakan bahwa sesuai dengan pengertian syar’inya maka jamaatul muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi di dunia sekarang ini. Beberapa bukti yang menunjukkan hal itu adalah :
1. Diantara alasan-alasan yang digunakannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman yang berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Hadits ini memberitahu akan datangnya suatu zaman kepada umat islam dimana jama’atul muslimin tidak muncul di tengah kehidupan umat islam. Seandainya ketidakmunculannya itu mustahil, niscaya dijelaskan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah. Tetapi, Rasulullah saw justru mengakui terjadinya hal tersebut dan mengarahkan Hudzaifah agar menggigit akar pohon (islam) dalam menghadapi tidak adanya Jama’atul Muslimin dan imam mereka itu.
Bisakah jama’ah-jama’ah pergerakan, partai-partai islam, ormas-ormas islam yang ada saat ini disebut dengan jama’atul muslimin?
Husein bin Muhammad bin Ali Jabir mengatakan bahwa sesuai dengan pengertian syar’inya maka jamaatul muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi di dunia sekarang ini. Beberapa bukti yang menunjukkan hal itu adalah :
1. Diantara alasan-alasan yang digunakannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman yang berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Hadits ini memberitahu akan datangnya suatu zaman kepada umat islam dimana jama’atul muslimin tidak muncul di tengah kehidupan umat islam. Seandainya ketidakmunculannya itu mustahil, niscaya dijelaskan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah. Tetapi, Rasulullah saw justru mengakui terjadinya hal tersebut dan mengarahkan Hudzaifah agar menggigit akar pohon (islam) dalam menghadapi tidak adanya Jama’atul Muslimin dan imam mereka itu.
2. Bukti lainnya yang menunjukkan tidak adanya Jama’atul Muslimin
ialah adanya beberapa pemerintahan yang memerintah umat islam. Sebab,
islam tidak mengakui selain satu pemerintahan yang memerintah umat
islam. Bahkan islam memerintakan umat islam agar membunuh penguasa kedua
secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat.
Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)
Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)
Imam Nawawi dalam mengomentari hadits ini berkata,”Arti hadits ini
ialah apabila seorang khalifah yang dibaiat setelah ada seorang khalifah
maka baiat pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at
kedua dinyatakan batil dan diharamkan untuk taat kepadanya.
3. Bukti lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah al
Bahiliy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas
satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya
ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah
pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Hadits ini jelas menyatakan akan datangnya suatu masa dimana pemerintahan dan khilafah tidak muncul. (Menuju Jama’atul Muslimin hal 42 – 46)
Hadits ini jelas menyatakan akan datangnya suatu masa dimana pemerintahan dan khilafah tidak muncul. (Menuju Jama’atul Muslimin hal 42 – 46)
Sementara itu jama’ah-jama’ah pergerakan yang ada saat ini, seperti
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi, PKS, PPP, NU,
Muhammadiyah atau lainnya bukanlah jama’atul muslimin namun hanyalah
jama’ah minal muslimin yaitu jama’ah yang terdiri dari sekelompok kaum
muslimin yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita islam berdasarkan
manhaj atau metode gerakan masing-masing.
Kepemimpinan pada masing-masing jama’ah minal muslimin tidaklah
bersifat universal mengikat seluruh kaum muslimin namun ia hanya
mengikat setiap anggota yang ada didalam jama’ahnya.
Keberadaan jama’ah minal muslimin pada saat ini atau saat tidak
adanya jama’atul muslimin sangatlah dibutuhkan dan diperlukan sebagai
ruh dan anak tangga dari kemunculan jama’atul muslimin sebagaimana
disebutkan dalam suatu kaidah “Tidaklah suatu perkara wajib dapat
sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib
pula.”
Menegakkan khilafah atau jama’atul muslimin adalah kewajiban setiap
muslim dan ia tidak akan terwujud kecuali dengan da’wah yang dilakukan
secara berkelompok maka menegakkan da’wah dengan cara berjamaah (jama’ah
minal muslimin) ini adalah wajib.
Melepaskan Ba’iat atau Keluar dari Jama’ah Minal Muslimin
Tentunya sebagai sebuah jamaah yang menggabungkan sekian banyak da’i
atau orang-orang yang ingin berjuang untuk islam didalamnya maka
diperlukan soliditas, komitmen dan ketaatan semua anggotanya kepada
pemimpin dan aturan-aturan jamaah tersebut. Untuk meneguhkan itu semua
maka jamaah perlu mengambil janji setia dari setiap anggotanya yang
kemudian dikenal dengan istilah baiat, sebagaimana firman Allah swt :
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya : “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas
tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat
ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa
menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang
besar.” (QS. Al Fath : 10)
Tentulah kedudukan baiat kepada imam, amir, qiyadah jama’ah minal muslimin berbeda dengan baiat kepada imam dari jama’atul muslimin dikarenakan imam jama’atul muslimin dipilih oleh ahlul halli wal aqdi dari seluruh umat islam sedangkan imam dari jama’ah minal muslimin dipilih oleh majlis atau dewan syuro sebagai perwakilan seluruh anggota di jama’ah itu.
Tentulah kedudukan baiat kepada imam, amir, qiyadah jama’ah minal muslimin berbeda dengan baiat kepada imam dari jama’atul muslimin dikarenakan imam jama’atul muslimin dipilih oleh ahlul halli wal aqdi dari seluruh umat islam sedangkan imam dari jama’ah minal muslimin dipilih oleh majlis atau dewan syuro sebagai perwakilan seluruh anggota di jama’ah itu.
Hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang
melepaskan baiatnya adalah terhadap imam atau khalifah dari jama’atul
muslimin bukan terhadap imam dari jama’ah minal muslimin,
seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah
saw bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu
keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah
(alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di
lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Dan para pemimpin atau amir suatu jamaah minal muslimin tidaklah
termasuk didalam hadits ini. DR. Husamuddin Unafah, Ustadz bidang studi
fiqih dan ushul di Universitas al Quds, Palestina mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum
muslimin atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal
‘aqdi dari umat islam.
Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para pemimpin di zaman ini
atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari mereka bukanlah imam
(pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.
Al Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi didalam
pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul
halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama dan
lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah manusia
segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.
Untuk itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang
yang berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan
pendapat orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar
Romli dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh
selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.
Imam kaum muslimin yang diharuskan berbaiat kepadanya memiliki
berbagai persyaratan yang telah disebutkan ahlul ilmi. Dan persyaratan
itu tidaklah bisa diterapkan kepada pemimpin partai, jama’ah-jama’ah
yang ada sekarang ini.
Imam Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban
Bersama Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa
barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti
kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah
pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i
yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak
terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap
muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal ‘aqdi
memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun yang
bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.
Adapun apabila tidak terdapat berbagai persyaratan baiat pada seorang
hakim maka tidaklah ada kewajiban baginya dibaiat akan tetapi hendaklah
dia berusaha untuk mengadakan seorang imam syar’i sesuai dengan
kemampuannya dan Allah tidaklah membebankan seseorang kecuali dengan
kemampuannya.
Dengan demikian diperbolehkan bagi seseorang untuk melepaskan
baiatnya dari imam atau pemimpin jama’ah minal muslimin atau keluar
darinya setelah meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan yang cukup
significan dalam tubuh jama’ah tersebut baik penyimpangan dalam diri
qiyadah, para pemimpin, garis perjuangannya atau prinsip-prinsip
pergerakannya yang dapat memberikan pengaruh negatif kepada umat,
sebagaiamana hadits Rasulullah saw,”Tidak ada ketaatan dalam suatu
kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhori
dan Muslim)
Pada dasarnya baiat yang diberikan kepada pemimpin jamaah itu adalah
baiat untuk beramal islam. Artinya baiat atau janji setia diantara orang
yang berbaiat dengan orang yang dibaiat dalam hal ini adalah pemimpin
sebagai representasi dari jama’ah itu bisa diteruskan selama mereka
komitmen dengan amal-amal islam, seperti tidak melanggar rambu-rambu
akidah, berpegang teguh dengan syariah, tidak mengerjakan yang
diharamkan Allah dan lainnya.
Namun hendaklah pelepasan baiat atau keluar darinya dilakukan setelah
berbagai upaya megingatkan atau memberikan nasehat baik secara langsung
atau pun tidak langsung baik yang telah dilakukan olehnya maupun
orang-orang selainnya yang menginginkan perbaikan didalam tubuh jama’ah
tidaklah diterima atau digubris sehingga mengakibatkan
kesalahan-kesalahan itu terus berulang dan berulang karena agama ini
tegak diatas landasan nasehat sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari
Abu Ruqayyah bin Aus ad Dary ra menerangkan bahwa Nabi saw
bersabda,”Agama itu nasehat.” Kami bertanya,”Bagi siapa?” Beliau saw
menjawab,”Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslim dan
bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Ketika dia memutuskan untuk melepaskan baiatnya maka hendaklah
setelah itu dia mencari jama’ah minal muslimin lainnya yang diyakininya
lebih baik darinya untuk bisa beramal islam secara berjama’ah meskipun
hal ini bukan menjadi suatu kewajiban baginya pada masa-masa
ketidakberadaan jama’atul muslimin akan tetapi hal itu merupakan bagian
dari keutamaan. Dan jika dirinya tidak melihat ada jama’ah minal
muslimin lainnya yang lebih baik darinya maka diperbolehkan baginya
untuk berdiam diri sejenak atau tidak bergabung dengan jama’ah manapun
sampai dia menemukan jama’ah lainnya yang lebih baik darinya atau
kembali kepada jama’ah yang ditinggalkannya itu ketika diyakini bahwa
jama’ah tersebut telah kembali ke jalannya seperti sediakala.