AL JAMA'AH

Sabtu, 08 September 2012


Jama’atul Muslimin

Pada dasarnya seluruh kaum muslimin hanya diikat oleh satu jama’ah yaitu jama’atul muslimin dengan satu kepemimpinan yaitu khalifah.
Jamaatul muslimin ini merupakan ikatan yang kuat didalam menjalankan hukum Allah dan syari’at-Nya ditengah-tengah kehidupan umat manusia sehingga menjadikan islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dan ketika ikatan jama’atul muslimin ini hancur maka hancurlah seluruh ikatan-ikatan islamnya, hilanglah syia’ar-syi’arnya dan umat menjadi terpecah-pecah. Inilah makna ungkapan Umar bin Khottob,”Wahai masyarakat Arab, tidak ada islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.” (HR. Bukhori)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Dan ketika jamaatul muslimin atau jama’ah yang mengikat seluruh kaum muslimin di alam ini dengan satu kepemimpinan khilafah telah terwujud maka umat islam diharuskan untuk membaiatnya serta dilarang untuk melepaskan baiatnya dari keterikatannya dengan jama’atul muslimin, sebagaimana didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Hudzaifah bin al Yaman berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau printahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Dari Abdullah bin ‘Amr ra bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang membaiat seorang imam kemudian imam itu memberikan untuknya buah hatinya dan mengulurkan tangannya maka hendaklah ia menaatinya sedapat mungkin.” (HR. Muslim)
Demikianlah beberapa hadits diatas yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan seorang imam jama’atul muslimin didalam diri setiap rakyatnya. Di situ juga disebutkan betapa setiap muslim harus senantiasa mengedepankan kesabaran, tidak membangkang, tetap menaatinya dengan segenap kemampuannya.
Hadits-hadits itu melarang setiap muslim untuk meninggalkan ketaatan kepadanya atau keluar darinya dan membentuk jama’ah sendiri atau tidak berjama’ah.
Adakah Jama’atul Muslimin Saat Ini
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah jama’atul muslimin ada pada saat ini?
Bisakah jama’ah-jama’ah pergerakan, partai-partai islam, ormas-ormas islam yang ada saat ini disebut dengan jama’atul muslimin?

Husein bin Muhammad bin Ali Jabir mengatakan bahwa sesuai dengan pengertian syar’inya maka jamaatul muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi di dunia sekarang ini. Beberapa bukti yang menunjukkan hal itu adalah :
1. Diantara alasan-alasan yang digunakannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman yang berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Hadits ini memberitahu akan datangnya suatu zaman kepada umat islam dimana jama’atul muslimin tidak muncul di tengah kehidupan umat islam. Seandainya ketidakmunculannya itu mustahil, niscaya dijelaskan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah. Tetapi, Rasulullah saw justru mengakui terjadinya hal tersebut dan mengarahkan Hudzaifah agar menggigit akar pohon (islam) dalam menghadapi tidak adanya Jama’atul Muslimin dan imam mereka itu.
2. Bukti lainnya yang menunjukkan tidak adanya Jama’atul Muslimin ialah adanya beberapa pemerintahan yang memerintah umat islam. Sebab, islam tidak mengakui selain satu pemerintahan yang memerintah umat islam. Bahkan islam memerintakan umat islam agar membunuh penguasa kedua secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat.
Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)
Imam Nawawi dalam mengomentari hadits ini berkata,”Arti hadits ini ialah apabila seorang khalifah yang dibaiat setelah ada seorang khalifah maka baiat pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at kedua dinyatakan batil dan diharamkan untuk taat kepadanya.
3. Bukti lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah al Bahiliy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Hadits ini jelas menyatakan akan datangnya suatu masa dimana pemerintahan dan khilafah tidak muncul. (Menuju Jama’atul Muslimin hal 42 – 46)
Sementara itu jama’ah-jama’ah pergerakan yang ada saat ini, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi, PKS, PPP, NU, Muhammadiyah atau lainnya bukanlah jama’atul muslimin namun hanyalah jama’ah minal muslimin yaitu jama’ah yang terdiri dari sekelompok kaum muslimin yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita islam berdasarkan manhaj atau metode gerakan masing-masing.
Kepemimpinan pada masing-masing jama’ah minal muslimin tidaklah bersifat universal mengikat seluruh kaum muslimin namun ia hanya mengikat setiap anggota yang ada didalam jama’ahnya.
Keberadaan jama’ah minal muslimin pada saat ini atau saat tidak adanya jama’atul muslimin sangatlah dibutuhkan dan diperlukan sebagai ruh dan anak tangga dari kemunculan jama’atul muslimin sebagaimana disebutkan dalam suatu kaidah “Tidaklah suatu perkara wajib dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib pula.”
Menegakkan khilafah atau jama’atul muslimin adalah kewajiban setiap muslim dan ia tidak akan terwujud kecuali dengan da’wah yang dilakukan secara berkelompok maka menegakkan da’wah dengan cara berjamaah (jama’ah minal muslimin) ini adalah wajib.
Melepaskan Ba’iat atau Keluar dari Jama’ah Minal Muslimin
Tentunya sebagai sebuah jamaah yang menggabungkan sekian banyak da’i atau orang-orang yang ingin berjuang untuk islam didalamnya maka diperlukan soliditas, komitmen dan ketaatan semua anggotanya kepada pemimpin dan aturan-aturan jamaah tersebut. Untuk meneguhkan itu semua maka jamaah perlu mengambil janji setia dari setiap anggotanya yang kemudian dikenal dengan istilah baiat, sebagaimana firman Allah swt :
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya : “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS. Al Fath : 10)
Tentulah kedudukan baiat kepada imam, amir, qiyadah jama’ah minal muslimin berbeda dengan baiat kepada imam dari jama’atul muslimin dikarenakan imam jama’atul muslimin dipilih oleh ahlul halli wal aqdi dari seluruh umat islam sedangkan imam dari jama’ah minal muslimin dipilih oleh majlis atau dewan syuro sebagai perwakilan seluruh anggota di jama’ah itu.
Hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan baiatnya adalah terhadap imam atau khalifah dari jama’atul muslimin bukan terhadap imam dari jama’ah minal muslimin, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Dan para pemimpin atau amir suatu jamaah minal muslimin tidaklah termasuk didalam hadits ini. DR. Husamuddin Unafah, Ustadz bidang studi fiqih dan ushul di Universitas al Quds, Palestina mengatakan bahwa yang dimaksud dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum muslimin atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal ‘aqdi dari umat islam.
Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para pemimpin di zaman ini atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.
Al Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi didalam pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama dan lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah manusia segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.
Untuk itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang yang berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan pendapat orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar Romli dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.
Imam kaum muslimin yang diharuskan berbaiat kepadanya memiliki berbagai persyaratan yang telah disebutkan ahlul ilmi. Dan persyaratan itu tidaklah bisa diterapkan kepada pemimpin partai, jama’ah-jama’ah yang ada sekarang ini.
Imam Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban Bersama Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal ‘aqdi memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun yang bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.
Adapun apabila tidak terdapat berbagai persyaratan baiat pada seorang hakim maka tidaklah ada kewajiban baginya dibaiat akan tetapi hendaklah dia berusaha untuk mengadakan seorang imam syar’i sesuai dengan kemampuannya dan Allah tidaklah membebankan seseorang kecuali dengan kemampuannya.
Dengan demikian diperbolehkan bagi seseorang untuk melepaskan baiatnya dari imam atau pemimpin jama’ah minal muslimin atau keluar darinya setelah meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan yang cukup significan dalam tubuh jama’ah tersebut baik penyimpangan dalam diri qiyadah, para pemimpin, garis perjuangannya atau prinsip-prinsip pergerakannya yang dapat memberikan pengaruh negatif kepada umat, sebagaiamana hadits Rasulullah saw,”Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada dasarnya baiat yang diberikan kepada pemimpin jamaah itu adalah baiat untuk beramal islam. Artinya baiat atau janji setia diantara orang yang berbaiat dengan orang yang dibaiat dalam hal ini adalah pemimpin sebagai representasi dari jama’ah itu bisa diteruskan selama mereka komitmen dengan amal-amal islam, seperti tidak melanggar rambu-rambu akidah, berpegang teguh dengan syariah, tidak mengerjakan yang diharamkan Allah dan lainnya.
Namun hendaklah pelepasan baiat atau keluar darinya dilakukan setelah berbagai upaya megingatkan atau memberikan nasehat baik secara langsung atau pun tidak langsung baik yang telah dilakukan olehnya maupun orang-orang selainnya yang menginginkan perbaikan didalam tubuh jama’ah tidaklah diterima atau digubris sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan itu terus berulang dan berulang karena agama ini tegak diatas landasan nasehat sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Ruqayyah bin Aus ad Dary ra menerangkan bahwa Nabi saw bersabda,”Agama itu nasehat.” Kami bertanya,”Bagi siapa?” Beliau saw menjawab,”Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslim dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Ketika dia memutuskan untuk melepaskan baiatnya maka hendaklah setelah itu dia mencari jama’ah minal muslimin lainnya yang diyakininya lebih baik darinya untuk bisa beramal islam secara berjama’ah meskipun hal ini bukan menjadi suatu kewajiban baginya pada masa-masa ketidakberadaan jama’atul muslimin akan tetapi hal itu merupakan bagian dari keutamaan. Dan jika dirinya tidak melihat ada jama’ah minal muslimin lainnya yang lebih baik darinya maka diperbolehkan baginya untuk berdiam diri sejenak atau tidak bergabung dengan jama’ah manapun sampai dia menemukan jama’ah lainnya yang lebih baik darinya atau kembali kepada jama’ah yang ditinggalkannya itu ketika diyakini bahwa jama’ah tersebut telah kembali ke jalannya seperti sediakala.

Minggu, 02 September 2012

KEMBALILAH PADA SUNAH 
 
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan munculnya perselisihan di akhir zaman dan memberikan solusinya yaitu dengan berpegang kepada sunahnya dan sunah khulafa Rasyidin yang tertunjuki setelahnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan bahwa umatnya akan berpecah belah menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu, beliau mengabarkan bahwa kelompok yang selamat itu adalah apa yang yang dipegang oleh beliau dan para shahabatnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani[1] dari Abu Waqid bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ. فَلَمْ يَسْمَعْهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ: أَلاَ تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ؟ فَقَالُوْا : مَا قَالَ ؟ قَالَ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَقَالُوْا : فَكَيْفَ لَنَا يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْنَ إِلىَ أَمْرِكُمُ اْلأَوَّلِ. “Sesungguhnya akan terjadi fitnah.” Akan tetapi kebanyakan shahabat tidak mendengarnya, Mu’adz berkata, “Apakah kalian mendengar apa yang disabdakan oleh Nabi?” Mereka berkata, “Apa yang disabdakan oleh beliau?” Ia berkata, “Sesungguhnya akan terjadi fitnah.” Mereka berkata, “Lalu bagaimana dengan kami wahai Rasulullah, apa yang harus kami lakukan?” Nabi bersabda, “Kembalilah kepada urusan kamu yang pertama!” Urusan kamu yang pertama yaitu yang dipegang oleh para shahabat sebelum mereka berselisih, itulah jalan yang telah diberikan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menitinya. Dan perintah Nabi ini telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh generasi tabi’in, tabi’uttabi’in dan para ulama setelahnya, mereka menghormati para shahabat dan mengambil pendapatnya, di antara ulama yang amat kuat berpegang kepada atsar para shahabat adalah Imam Asy Syafi’i rahimahullah, Imam Asy Syafi’i berkata, “Allah telah menyanjung para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam Alquran, At Taurat, dan Injil, dan mereka telah meraih keutamaan yang tidak diraih oleh generasi lainnya melalui lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah merahmati dan memberikan selamat kepada mereka, karena mereka telah mencapai kedudukan yang paling tinggi kedudukan para siddiq, para syuhada, dan shalihin. Merekalah yang menyampaikan kepada kita sunah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara mereka menyaksikan wahyu yang turun kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum, khusus, wajib, dan irsyad (bimbingan), mereka mengetahui sunahnya yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui. Mereka berada di atas kita pada setiap amalan, ijtihad, wara’, akal, dan ilmu yang dibutuhkan padanya ilmu dan istinbath. Pendapat mereka paling terpuji untuk kita dan lebih baik dari pendapat kita sendiri. Dan ulama yang kita temui dari ulama yang diridhai bila tidak menemukan sunah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pendapat para shahabat jika bersepakat atau pendapat sebagian mereka jika berselisih, demikianlah pendapat kami; tidak keluar dari pendapat para shahabat dan jika salah seorang dari mereka berpendapat dan tidak diselisihi oleh shahabat lain, kami pun tetap mengambil pendapatnya“.[2] Bagaikan Bintang di Langit Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan dirinya dan para shahabatnya seperti bintang di langit, beliau bersabda, النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَتْ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ “Bintang adalah amanah untuk langit, apabila bintang pergi akan datang kepada langit apa yang dijanjikan untuknya, dan aku adalah amanah untuk para shahabatku, apabila aku pergi akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka, dan shahabatku adalah amanah untuk umatku, apabila shahabatku pergi akan datang kepada umatku apa yang dijanjikan untuknya”. (HR Muslim).[3] Dan Allah menyebutkan dalam Alquran bahwa bintang mempunyai tiga fungsi, yang pertama dan kedua adalah sebagai penghias langit dan pelempar setan, Allah Ta’ala berfirman : وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَآءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ “Dan sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia dengan bintang-bintang dan menjadikannya sebagai pelempar setan, dan Kami telah mempersiapkan untuk mereka ‘adzab Neraka Sa’ir”. (QS. Al Mulk : 5) Dan yang ketiga adalah sebagai penunjuk jalan, Allah berfirman: وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ “Dan Dialah (allah) yang telah menjadikan untuk kamu bintang-bintang agar kamu menjadikannya sebagai penunjuk jalan dalam kegelapan daratan dan lautan.” (QS. Al An’am : 97). Dan para shahabat adalah hiasan untuk umat Islam karena mereka telah melaksanakan Islam dengan sempurna dan diberikan kemuliaan yang tidak diberikan kepada orang lain, mereka kita jadikan sebagai pelempar pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan kita jadikan mereka sebagai penunjuk jalan dalam memahami Alquran dan hadis sehingga pemahaman kita tidak menyimpang dan manhaj kita tidak tersesat. Adapun mereka yang tersesat maka disebabkan oleh penyimpangan mereka dari manhaj para shahabat dan menolak pemahamannya. Kita memohon agar Allah menunjukki kita ke jalan itu dan memberikan kekuatan agar senantiasa berpegang teguh dengannya, Amin.

[1] Shahih, diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam al Kabir, 3:249 no 3307 dari Muththalib bin Syu’aib Al Azdi, dari Abdullah bin Shalih dari Al Laits bin Sa’ad dari ‘Ayyasy bin ‘Abbas Al Qithbani dari Bukair bin Al Asyaj dari Busr bin Sa’ad dari Abu Waqid. Qultu: sanad hadis ini lemah, karena Abdullah bin Shalih yaitu katib Laits adalah perawi yang ada padanya kelemahan sebagaimana yang dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Al Kasyif, namun ia tidak bersendirian, ia di mutaba’ah oleh Yahya bin Abdullah bin Bukair dari Al laits, dikeluarkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar, 3:221 no 1184 dan ini adalah sanad yang sahih. Sehingga hadis ini menjadi shahih.
 [2] I’lamul muwaqqi’in 2/150 Tahqiq syaikh Masyhur bin Hasan Salman. 
[3] Muslim no 2531.